Kamis, 03 Maret 2011

Good Governance di Indonesia

Menurut hasil riset Booz-Allen & Hamilton, seperti dikutip oleh Irwan (2000), menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 1999 menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, indeks korupsi dan indeks efisiensi peradilan dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Besarnya indeks good governance Indonesia hanya sebesar 2,88 di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,89), dan Filipina (3,47). Indeks ini menunjukkan bahwa semakin rendah angka indeks maka tingkat good governance semakin rendah, dan sebaliknya (lihat tebel 1).

Tabel 1: Good Gevernance di Asia Tenggara 1999

Negara

Indeks

Efisiensi Peradilan

Indeks

Korupsi

Indeks

Good Governance

Kategori

Kualitas Governance

Malaysia

9,00

7,38

7,72

Good Governance

Singapura

10,00

8,22

8,93

Good Governance

Thailand

3,25

5,18

4,89

Fair Governance

Filipina

4,75

7,92

3,47

Fair Governance

Indonesia

2,50

2,15

2,88

Poor Governance

Sumber: Booz-Allen & Hamilton, seperti dikutip Irwan (2000), Huther and Shah (2000), dan Sri Y. Susilo (2000) Rendahnya indeks good governance di Indonesia didukung oleh hasil studi Huther dan Shah (1998) yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk ke dalam kategori negara poor governance. Studi ini melihat governance quality dengan cara menghitung besarnya governance quality index di masing-masing negara yang menjadi sampel. Indeks kualitas governance diukur dari: (1) indeks partisipasi masyarakat, (2) indeks orientasi pemerintah, (3) indeks pembangunan sosial, dan (5) indeks manajemen ekonomi makro. Melihat hasil studi di atas maka secara objektif harus diakui bahwa kualitas governance Indonesia masih jauh dari good governance. Namun secara objektif juga harus diakui bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menuju terciptanya good governance. Upaya tersebut dapat dilihat dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi sejak pertengahan tahun 1980-an. Deregulasi diarahkan dengan mengurangi dan atau menghilangkan berbagai peraturan yang dirasa menghambat kegiatan perekonomian. Secara khusus pemerintah menghilangkan berbagai peraturan yang menghambat kegiatan ekspor. berbagai kebijakan deregulasi di bidang ekonomi nampak jelas menunjukkan orientasi pemerintah yang berubah dari inward oriented menuju outward oriented. Sejalan dengan kebijakan tersebut maka pengembangan sektor industri juga diarahkan untuk produk-produk tujuan ekspor.

Peran IAI

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa penyelewengan KKN begitu merajalela di Indonesia? Secara teoritis terjadinya korupsi dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran (lihat misalnya Tanzi, 1998). Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Untuk dapat memberantas korupsi dan juga kolusi sehingga upaya terwujudnya good governance dapat lebih cepat tercapai maka perlu dukungan dan upaya dari berbagai pihak. Untuk itu perlu diciptakan sistem akuntabilitas yang efektif. Dalam hal ini pengambil kebijakan harus memfokuskan usaha mereka terhadap pencapaian tujuan-tujuan sebagai berikut (Langseth, 2000; Langseth, Stapenhurst, and Pope, 1997) :

  1. Para pemegang posisi kunci di lembaga eksekutif dan pelayanan masyarakat harus memperkuat institusi publik.
  2. Para politisi dan pegawai negeri secara kolektif harus bertanggung jawab jawab atas pelaksanaan tugas dan komitmen pemerintah.
  3. Para politisi dan birokrat pada umunya harus lebih responsif terhadap kebutuhan perusahaan-perusahaan milik swasta maupun milik negara.
  4. Seluruh warga negara, sektor swasta, media dan masyarakat sipil harus dididik dan diberdayakan untuk untuk meningkatkan akuntabilitas sektor publik.

Selanjutnya agar akselerasi sistem akuntabilitas publik dapat lebih cepat tercapai, maka diperlukan komitmen dan integritas dari berbagai pihak yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi merupakan salah satu upaya untuk menegakkan paradigma good governance. The Economic Development Institute (EDI) of the World Bank dengan berbagai pihak dalam rangka upaya memberantas KKN, terutama korupsi, telah memperkenalkan konsep yang disebut “pillars of integrity” (lihat misalnya Langseth, Stapenhurst, and Pope, 1997; Dye and Stapenhurst, 1998). Konsep mengenai sistem integritas nasional tersebut setidaknya melibatkan 8 (delapan) lembaga yang disebut “pillars of integrity“, yaitu: (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (“watchdog” agencies), (5) media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum. Termasuk ke dalam pilar lembaga-lembaga pengawas antara lain kantor-kantor auditor, lembaga anti korupsi dan ombudsman. Sedangkan yang termasuk pilar sektor swasta antara lain kamar dagang, asosiasi industri dan asosiasi profesional. Organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan dan LSM termasuk ke dalam pilar masyarakat sipil. Pilar tersebut tentunya bisa diperluas menurut kondisi masing-masing negara. Di Indonesia misalnya, mahasiswa tentu dapat dimasukkan sebagai salah satu unsur pilar integritas karena mereka telah memelopori reformasi atau perubahan. Bahkan mereka sekaligus juga dapat menjadi bagian dari “watchdog” yang lebih galak. Bagaimana dengan IAI? IAI dapat masuk ke dalam lembaga-lembaga pengawas karena pada umumnya auditor pada berbagai kantor akuntan publik merupakan anggota IAI. Organisasi IAI ini adalah organisasi profesional oleh karena itu juga dapat masuk ke dalam pilar sektor swasta. Pertanyaan selanjutnya mampukah IAI berdiri menjadi pilar tersendiri? Jawabnya, di atas kertas adalah IAI mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi pilar ke-9 dari “pillars of integrity” di Indonesia. Seperti diketahui sebagian anggota dari IAI merupakan auditor yang profesional yang tergabung dalam kantor auditor atau kantor akuntan publik. Ada atau tidaknya korupsi dalam suatu kegiatan ekonomi dapat diketahui dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor. Dengan demikian jelas ada tidaknya penyelewengan keuangan sangat tergantung dari pekerjaan dan kesimpulan yang direkomendasikan oleh lembaga auditor. Di Indonesia misalnya, ada tidaknya KKN pada institusi pemerintah secara formal diketahui dari laporan yang dikeluarkan oleh BPK, BPKP atau kantor akuntan publik yang ditunjuk. Kondisi tersebut menjadikan IAI mempunyai tugas dan kewajiban terhadap anggotanya yang terlibat dalam proses pemeriksaan akuntan (auditing) agar tetap menjunjung tinggi profesionalisme mereka. Tuntutan profesionalisme bagi auditor antara lain: (1) meningkatkan dan mengembangkan ilmu dan seni akuntansi, (2) menjaga kepercayaan publik terhadap profesi, dan (3) mengadakan dan menjalankan setiap program dan kegiatan profesi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas jasa yang diberikan profesi. Sebagai organisasi profesional, di samping harus mampu membina anggotanya, IAI harus mampu mengawasi dan menindak anggotanya yang melanggar kode etik profesi. Tugas dan kewajiban IAI dalam hal ini memang tidak mudah tetapi bukan hal yang tidak mungkin. Kewajiban lain yang harus dipikul IAI agar dapat menjadi salah satu “pillars of integrity” adalah menjadi salah satu agen yang mempromosikan good governance (lihat misalnya Shunglu, 1998). Promosi ini dilakukan pada dasarnya untuk “menyuarakan” adanya keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktivitas masyarakat. Promosi tersebut misalnya dapat dilakukan dengan membantu pihak lain yang terlibat pemberantasan korupsi. Banyak lembaga-lembaga lain yang terlibat, seperti LSM, lembaga ombudsman dan lembaga keagamaan, terbatas pemahaman dan pengetahuan mereka mengenai laporan keuangan dan pemeriksaan keuangan yang paling sederhana sekalipun. Organisasi IAI dapat membantu mereka dengan memberikan pengetahuan praktis atau jika memungkinkan memberikan bantuan sumberdaya manusia. Selanjutnya jika dimungkinkan IAI dapat menyusun petunjuk praktis pengetahuan laporan keuangan dan pemeriksaan keuangan bagi organisasi masyarakat di tingkat paling bawah seperti RT dan RW. Jika selama ini IAI mampu membantu usaha kecil dalam laporan dan pemeriksaan keuangan, hal yang sama tentunya bisa dilakukan pada organisasi kemasyarakatan pada tingkatan yang paling bawah tersebut. Dengan pemahaman masyarakat akan pemeriksaan keuangan pada tingkat yang paling sederhana semakin meningkat, selanjutnya masyarakat akan terbiasa dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Kondisi tersebut sangat mendukung iklim untuk memberantas korupsi yang pada gilirannya dapat terciptanya iklim good governance. Peran lain yang dapat IAI diambil untuk mendukung gerakan anti-korupsi yang merupakan salah satu elemen gerakan untuk menciptakan good governance adalah dengan memberikan dukungan teknis kepada gerakan atau lembaga anti-korupsi. Dukungan teknis sangat mungkin dilakukan oleh IAI karena organisasi ini mempunyai anggota yang ahli dalam menentukan ada tidaknya penyelewengan keuangan atau korupsi, yaitu akuntan yang bertindak sebagai auditor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar